Dari Duka Keluarga Menjadi Pancawaluya
Dari Duka Keluarga Menjadi Pancawaluya
Di ruang sunyi, duka menetes perlahan,
seperti hujan yang kehilangan langitnya,
keluarga kami merapat,
memeluk luka agar tidak tercerai-berai.
Kami menangis dalam diam,
menyebut nama dengan getir,
namun air mata berubah doa,
doa berubah cahaya,
cahaya berubah kekuatan.
Dari kehilangan lahirlah tekad,
dari duka lahirlah janji,
bahwa kami tak boleh runtuh,
bahwa cinta keluarga harus terus tumbuh.
Maka kami genggam lima pilar kehidupan,
Pancawaluya, tulang yang menyangga harapan:
Pertama, keterbukaan yang jujur,
agar luka tidak berulang,
agar data dan cerita setiap jiwa
tidak terhapus di jalan birokrasi.
Kedua, kecepatan yang adil,
karena nyawa tak bisa menunggu,
karena kasih sayang tak bisa ditunda.
Ketiga, akuntabilitas yang terang,
supaya salah diakui,
supaya benar dihargai,
supaya pelayanan menjadi ibadah.
Keempat, kolaborasi yang ikhlas,
kami bukan pulau yang terpisah,
kami adalah jembatan yang saling menguatkan,
berdiri bersama, tidak lagi sendiri.
Kelima, keadilan sosial yang hakiki,
sebab cinta keluarga bukan milik segelintir,
tetapi milik semua jiwa
dari gang sempit hingga kota besar.
Duka kami menjelma azimat,
air mata menjadi tinta suci,
menulis di dada kami sendiri:
“Istiqomah, meski sakit.
Istimewa, meski sederhana.
Kuat, meski pernah runtuh.”
Maka, dari ruang tangis
lahirlah Pancawaluya,
bukan sekadar janji,
tapi jalan pulang bagi kemanusiaan. Bandung Selatan, 21 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar