Penjaga Fiskal Mendesak dan Jaring Pengaman Sosial: Mendamaikan Keberlanjutan Utang dengan Kemiskinan dan Ketimpangan di ASEAN

Penjaga Fiskal Mendesak dan Jaring Pengaman Sosial: Mendamaikan Keberlanjutan Utang dengan Kemiskinan dan Ketimpangan di ASEAN
                                         
Asep Rohmandar

President, Masyarakat Peneliti Mandiri Indonesia–Nusantara
Email: rasep7029@gmail.com
I. Pendahuluan

Negara-negara ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) menghadapi dilema kebijakan fiskal yang kompleks dalam era pasca-pandemi COVID-19. Di satu sisi, tekanan untuk menjaga keberlanjutan utang (debt sustainability) semakin meningkat seiring dengan membengkaknya defisit fiskal akibat stimulus ekonomi. Di sisi lain, kebutuhan untuk melindungi kelompok rentan melalui jaring pengaman sosial (social safety nets) menjadi semakin mendesak mengingat kesenjangan ekonomi yang melebar. Dalam konteks ini, fiscal guardrails atau pembatas fiskal menjadi instrumen penting untuk menyeimbangkan kedua tujuan tersebut.

Penelitian ini akan mengeksplorasi pentingnya keseimbangan antara disiplin fiskal dan perlindungan sosial di kawasan ASEAN, dengan mempertimbangkan keragaman kondisi ekonomi, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan yang ada di kawasan ini.                                                                                                                Keywords: Fiscal Guardrails; Social Safety Nets; Debt Sustainability; Poverty; Inequality; ASEAN.

II. Konsep Fiscal Guardrails dan Social Safety Nets

1. Fiscal Guardrails: Definisi dan Fungsi

Fiscal guardrails merujuk pada seperangkat aturan dan mekanisme kebijakan yang dirancang untuk menjaga disiplin fiskal dan keberlanjutan utang publik. Menurut International Monetary Fund (IMF), fiscal guardrails mencakup aturan fiskal seperti batas defisit, target rasio utang terhadap PDB, dan mekanisme koreksi otomatis ketika target tersebut terlampaui (IMF, 2023). Tujuan utama dari fiscal guardrails adalah mencegah akumulasi utang yang tidak berkelanjutan yang dapat membahayakan stabilitas makroekonomi jangka panjang.

Di kawasan ASEAN, penerapan fiscal guardrails bervariasi antar negara. Indonesia, misalnya, memiliki pembatasan defisit fiskal maksimal 3% dari PDB yang tertuang dalam undang-undang keuangan negara. Singapura menerapkan aturan keseimbangan anggaran dalam jangka menengah. Sementara negara-negara seperti Filipina dan Thailand memiliki target rasio utang terhadap PDB yang dijadikan acuan kebijakan fiskal.

2. Social Safety Nets: Peran dalam Pengurangan Kemiskinan

Social safety nets atau jaring pengaman sosial adalah program-program pemerintah yang dirancang untuk melindungi individu dan keluarga dari guncangan ekonomi dan membantu mereka keluar dari kemiskinan. World Bank mendefinisikan social safety nets sebagai "non-contributory transfer programs targeted to the poor and vulnerable" (World Bank, 2018). Program-program ini mencakup bantuan tunai bersyarat (conditional cash transfers), subsidi pangan, program jaminan pekerjaan, dan asuransi sosial.

Di ASEAN, berbagai negara telah mengembangkan sistem jaring pengaman sosial dengan tingkat cakupan dan efektivitas yang berbeda-beda. Program Keluarga Harapan (PKH) di Indonesia, Pantawid Pamilyang Pilipino Program (4Ps) di Filipina, dan program Bantuan Sara Hidup (BSH) di Malaysia merupakan contoh-contoh program bantuan sosial yang telah terbukti efektif dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

III. Tantangan Debt Sustainability di ASEAN

1. Dinamika Utang Publik Pasca-Pandemi

Pandemi COVID-19 telah mengubah lanskap fiskal di kawasan ASEAN secara dramatis. Untuk merespons krisis kesehatan dan ekonomi, pemerintah-pemerintah ASEAN meningkatkan pengeluaran secara signifikan, menghasilkan defisit fiskal yang lebih besar dan akumulasi utang publik yang cepat. Menurut Asian Development Bank (ADB), rasio utang pemerintah terhadap PDB di negara-negara berkembang ASEAN meningkat dari rata-rata 43.1% pada tahun 2019 menjadi 56.9% pada tahun 2021 (ADB, 2022).

Proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Asia Tenggara menunjukkan tren moderasi. Data dari Asian Development Outlook September 2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB regional diproyeksikan mencapai 4.8% pada tahun 2025 dan 4.7% pada tahun 2026, turun dari 5.7% pada tahun 2022 dan 4.1% pada tahun 2023 (ADB, 2025). Variasi pertumbuhan antar negara cukup signifikan, dengan Vietnam memproyeksikan pertumbuhan tertinggi sekitar 6.5-7.1%, sementara Myanmar menghadapi kontraksi ekonomi. Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di kawasan, diproyeksikan tumbuh stabil di kisaran 5.0% untuk kedua tahun tersebut.

Peningkatan beban utang ini menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan fiskal, terutama bagi negara-negara dengan ruang fiskal yang terbatas dan pendapatan pemerintah yang rendah. Beberapa negara ASEAN seperti Laos dan Myanmar menghadapi risiko debt distress yang tinggi, sementara negara-negara lain seperti Thailand dan Filipina melihat peningkatan signifikan dalam rasio utang mereka.

2. Tekanan dari Kenaikan Suku Bunga Global

Normalisasi kebijakan moneter di negara-negara maju, khususnya kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve AS, telah meningkatkan biaya pinjaman bagi negara-negara ASEAN. Kondisi ini memperketat ruang fiskal dan membuat pengelolaan utang menjadi lebih menantang. Negara-negara dengan proporsi utang luar negeri yang tinggi atau utang dalam mata uang asing menghadapi risiko ganda dari biaya pinjaman yang lebih tinggi dan depresiasi mata uang.

IV. Kemiskinan dan Ketimpangan di ASEAN: Realitas yang Persisten

1. Disparitas Ekonomi Antar Negara

ASEAN adalah kawasan yang sangat beragam dalam hal tingkat pembangunan ekonomi. Singapura dan Brunei Darussalam adalah negara berpendapatan tinggi, sementara Kamboja, Laos, dan Myanmar masih tergolong negara berpendapatan rendah hingga menengah-bawah. Disparitas ini tercermin dalam tingkat kemiskinan dan ketimpangan yang sangat berbeda di seluruh kawasan.

Menurut data World Bank (2022), tingkat kemiskinan ekstrem (dengan standar $1.90 per hari dalam paritas daya beli) telah menurun secara signifikan di kawasan ASEAN dalam dua dekade terakhir, dari sekitar 30% pada awal tahun 2000-an menjadi kurang dari 5% pada tahun 2019. Namun, pandemi COVID-19 telah membalikkan sebagian kemajuan ini. Diperkirakan tambahan 4.7 juta orang di Asia Tenggara jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem pada tahun 2020 akibat pandemi.

2. Ketimpangan yang Melebar

Meskipun pertumbuhan ekonomi yang kuat telah mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan, ketimpangan pendapatan tetap menjadi masalah serius di banyak negara ASEAN. Koefisien Gini, ukuran standar ketimpangan pendapatan, menunjukkan tingkat ketimpangan yang tinggi di negara-negara seperti Filipina, Thailand, dan Malaysia. Ketimpangan tidak hanya dalam hal pendapatan, tetapi juga akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan peluang ekonomi.

Penelitian oleh Asian Development Bank Institute (ADBI) menunjukkan bahwa ketimpangan yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan menciptakan ketidakstabilan sosial (ADBI, 2020). Oleh karena itu, mengatasi ketimpangan bukan hanya imperatif moral tetapi juga kebutuhan ekonomi.

V. Rekonsiliasi Antara Debt Sustainability dan Perlindungan Sosial

a. Dilema Kebijakan: Austerity vs. Social Spending

Pemerintah di ASEAN menghadapi trade-off yang sulit antara konsolidasi fiskal untuk menjaga keberlanjutan utang dan mempertahankan atau meningkatkan pengeluaran sosial untuk melindungi kelompok rentan. Pendekatan austerity atau pengetatan fiskal yang ketat dapat membahayakan program-program sosial yang penting, sementara pengeluaran sosial yang berlebihan tanpa disiplin fiskal dapat mengancam stabilitas makroekonomi.

Namun, dikotomi ini tidak selalu harus bersifat zero-sum. Penelitian empiris menunjukkan bahwa desain kebijakan fiskal yang tepat dapat mencapai kedua tujuan secara bersamaan. Kuncinya adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran publik, memperluas basis pajak, dan merancang social safety nets yang well-targeted.

a. Prinsip-Prinsip Desain Kebijakan yang Optimal

Untuk merekonsiliasi keberlanjutan utang dengan perlindungan sosial, beberapa prinsip desain kebijakan perlu diterapkan:

1. Targeting dan Efisiensi Program Sosial 

Program jaring pengaman sosial harus dirancang dengan mekanisme targeting yang tepat untuk memastikan bantuan mencapai kelompok yang paling membutuhkan. Penggunaan proxy means testing, community-based targeting, atau kombinasi keduanya dapat meningkatkan akurasi targeting. Indonesia dan Filipina telah mengembangkan unified database untuk penerima bantuan sosial yang membantu meningkatkan efisiensi dan mengurangi kebocoran.

2. Progresivitas Sistem Pajak 

Meningkatkan mobilisasi pendapatan domestik melalui reformasi sistem perpajakan yang lebih progresif dapat menciptakan ruang fiskal untuk pengeluaran sosial tanpa mengorbankan keberlanjutan utang. Ini termasuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, dan mengurangi tax avoidance dan tax evasion. Sebagaimana dicatat oleh IMF (2021), "revenue mobilization through progressive taxation can create fiscal space for social protection while ensuring debt sustainability."

3. Prioritisasi Pengeluaran Produktif 

Tidak semua pengeluaran pemerintah memiliki dampak yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar cenderung memiliki multiplier effect yang lebih tinggi dan berkontribusi pada pembangunan modal manusia jangka panjang. Oleh karena itu, dalam konteks konsolidasi fiskal, penting untuk melindungi kategori pengeluaran ini.

4. Flexibility dalam Fiscal Rules

Fiscal guardrails perlu dirancang dengan mempertimbangkan fleksibilitas yang cukup untuk merespons guncangan ekonomi dan kebutuhan sosial. Konsep "escape clauses" dalam aturan fiskal memungkinkan pemerintah untuk menyimpang dari target fiskal dalam kondisi tertentu seperti resesi ekonomi atau bencana alam, dengan syarat komitmen untuk kembali ke jalur konsolidasi setelah krisis berakhir.

VI. Studi Kasus: Praktik Terbaik di ASEAN

1. Indonesia: Program Keluarga Harapan dan Disiplin Fiskal

Indonesia menyediakan contoh menarik tentang bagaimana negara dapat mempertahankan disiplin fiskal sambil mengembangkan program jaring pengaman sosial yang komprehensif. Meskipun memiliki pembatasan defisit fiskal 3% dari PDB, Indonesia telah berhasil memperluas Program Keluarga Harapan (PKH), program bantuan tunai bersyarat yang menargetkan keluarga miskin.

Selama pandemi COVID-19, Indonesia meluncurkan berbagai program bantuan sosial tambahan, termasuk kartu sembako dan bantuan langsung tunai, yang mencakup lebih dari 20 juta rumah tangga. Untuk membiayai program-program ini tanpa melanggar batas defisit secara permanen, pemerintah Indonesia melakukan restrukturisasi anggaran, meningkatkan efisiensi belanja, dan memanfaatkan fleksibilitas fiskal yang dimungkinkan oleh undang-undang khusus selama kondisi darurat.

2. Vietnam: Pertumbuhan Inklusif dan Fiscal Prudence

Vietnam telah mencapai pengurangan kemiskinan yang luar biasa dalam tiga dekade terakhir sambil mempertahankan posisi fiskal yang relatif sehat. Strategi Vietnam menggabungkan pertumbuhan ekonomi yang kuat, investasi dalam pendidikan dan kesehatan, serta program-program perlindungan sosial yang terus berkembang.

Pemerintah Vietnam telah memperluas cakupan asuransi kesehatan hingga mencapai lebih dari 90% populasi, salah satu tingkat cakupan tertinggi di kawasan. Program ini dibiayai melalui kombinasi kontribusi dari pekerja formal, subsidi pemerintah untuk kelompok rentan, dan alokasi anggaran yang diprioritaskan untuk sektor kesehatan.

3. Thailand: Universal Health Coverage sebagai Model

Thailand adalah negara ASEAN pertama yang mencapai universal health coverage (UHC) melalui skema Universal Coverage Scheme (UCS) yang diluncurkan pada tahun 2002. Program ini menyediakan akses gratis ke layanan kesehatan bagi seluruh warga Thailand yang tidak tercakup oleh skema asuransi kesehatan lainnya.

Meskipun program UCS memerlukan komitmen fiskal yang signifikan (sekitar 3-4% dari PDB), Thailand telah berhasil mempertahankan keberlanjutannya melalui pengelolaan yang efisien, penekanan pada pelayanan kesehatan primer, dan mekanisme pembayaran berbasis kapitasi yang menciptakan insentif untuk efisiensi. Pengalaman Thailand menunjukkan bahwa investasi dalam social safety nets yang universal dapat dicapai bahkan dengan keterbatasan fiskal, jika dirancang dan dikelola dengan baik.

VII. Rekomendasi Kebijakan

1. Penguatan Institutional Framework untuk Fiscal Guardrails

Negara-negara ASEAN perlu memperkuat kerangka institusional untuk manajemen fiskal yang mencakup:

a. Pendirian atau penguatan Independent Fiscal Institutions (IFIs)  yang dapat memberikan analisis objektif tentang kebijakan fiskal dan memantau kepatuhan terhadap aturan fiskal.
b. Transparansi fiskal yang lebih besar  melalui publikasi regular fiscal reports, medium-term fiscal frameworks, dan analisis risiko fiskal.
c. Mekanisme akuntabilitas  yang jelas untuk penyimpangan dari target fiskal, termasuk penjelasan kepada parlemen dan publik.

2. Desain Social Safety Nets yang Adaptive dan Scalable

Sistem jaring pengaman sosial perlu dirancang untuk dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi yang berubah dan dapat diperluas dengan cepat saat terjadi krisis:

a. Pengembangan registry terpadu yang mencakup informasi tentang rumah tangga miskin dan rentan, memungkinkan respons cepat saat terjadi guncangan.
b. Automatic stabilizers  dalam bentuk program-program sosial yang secara otomatis memperluas cakupan atau meningkatkan benefit saat kondisi ekonomi memburuk.
c. Diversifikasi instrumen perlindungan sosial yang mencakup bantuan tunai, subsidi, program jaminan pekerjaan, dan asuransi sosial.

3. Mobilisasi Sumber Daya Domestik yang Lebih Efektif

Untuk menciptakan ruang fiskal yang berkelanjutan bagi pengeluaran sosial:

a. Reformasi perpajakan yang memperluas basis pajak, meningkatkan progressivity, dan memperkuat administrasi pajak.
b. Pengurangan tax expenditures atau insentif pajak yang tidak efektif atau regresif.
c. Penguatan pajak atas properti dan kekayaan  yang dapat meningkatkan pendapatan sambil mengurangi ketimpangan.
d. Peningkatan efisiensi subsidi  dengan lebih menargetkan subsidi kepada kelompok yang membutuhkan dan mengurangi subsidi yang menguntungkan kelompok kaya.

4. Kerjasama Regional dalam Manajemen Risiko Fiskal

ASEAN sebagai kawasan dapat mengembangkan mekanisme kerjasama untuk mendukung keberlanjutan fiskal dan perlindungan sosial:

a. Regional financial safety net  yang dapat memberikan dukungan likuiditas bagi negara anggota yang menghadapi tekanan fiskal temporer.
b. Platform berbagi pengetahuan dan best practices  dalam desain dan implementasi program-program sosial dan manajemen fiskal.
c. Koordinasi kebijakan fiskal regional  untuk menghindari race to the bottom dalam perpajakan dan menjaga stabilitas makroekonomi kawasan.

5. Investasi dalam Digital Infrastructure untuk Efisiensi

Teknologi digital dapat meningkatkan secara signifikan efisiensi dan efektivitas baik manajemen fiskal maupun penyaluran bantuan sosial:

a. Digital payment systems untuk penyaluran bantuan sosial yang mengurangi biaya transaksi dan meminimalkan korupsi.
b. Big data analytics untuk meningkatkan targeting program sosial dan deteksi fraud.
c. E-government systems untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi administrasi perpajakan dan pengeluaran publik.

VIII. Tantangan Implementasi dan Pertimbangan Political Economy

1. Hambatan Politik dalam Reformasi Fiskal

Implementasi kebijakan yang menyeimbangkan disiplin fiskal dengan perlindungan sosial menghadapi berbagai hambatan politik. Reformasi perpajakan, khususnya yang meningkatkan pajak atas kelompok kaya, seringkali menghadapi resistensi dari kelompok elite yang memiliki pengaruh politik signifikan. Demikian pula, pengurangan subsidi atau restrukturisasi pengeluaran dapat menuai oposisi dari kelompok-kelompok yang kehilangan benefit.

Untuk mengatasi hambatan ini, penting untuk membangun koalisi politik yang luas yang mendukung reformasi. Komunikasi publik yang efektif tentang manfaat jangka panjang dari kebijakan fiskal yang berkelanjutan dan inklusif dapat membantu membangun dukungan. Pendekatan gradual dan kompensasi bagi kelompok yang terdampak negatif juga dapat mengurangi resistensi.

2. Capacity Constraints dalam Implementasi

Banyak negara ASEAN, khususnya yang berpendapatan rendah dan menengah-bawah, menghadapi keterbatasan kapasitas dalam merancang dan mengimplementasikan sistem perpajakan yang efektif dan program jaring pengaman sosial yang well-targeted. Keterbatasan ini mencakup kekurangan data yang reliable, kelemahan sistem administrasi publik, dan terbatasnya sumber daya manusia yang terampil.

Investasi dalam capacity building menjadi prioritas penting. Ini termasuk pelatihan untuk pegawai pajak dan administrator program sosial, pengembangan sistem informasi manajemen yang modern, dan pembelajaran dari best practices negara lain. Bantuan teknis dari organisasi internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB dapat memainkan peran penting dalam mendukung penguatan kapasitas ini.

3. Koordinasi antar Lembaga Pemerintah

Implementasi efektif kebijakan yang mengintegrasikan tujuan fiskal dan sosial memerlukan koordinasi yang kuat antar berbagai lembaga pemerintah – kementerian keuangan, kementerian sosial, lembaga statistik, dan sebagainya. Fragmentasi institusional dan silo dalam birokrasi dapat menghambat implementasi kebijakan yang koheren.

Pembentukan mekanisme koordinasi tingkat tinggi, seperti task force atau komite antar-kementerian, dapat memfasilitasi koordinasi yang lebih baik. Clear allocation of responsibilities, sistem informasi yang terintegrasi, dan insentif untuk kolaborasi antar-lembaga juga penting untuk keberhasilan implementasi.

IX. Peran Organisasi Internasional dan Development Partners

Organisasi internasional seperti World Bank, IMF, dan ADB memainkan peran penting dalam mendukung negara-negara ASEAN menyeimbangkan keberlanjutan fiskal dengan perlindungan sosial. Dukungan ini dapat berupa:

Financial assistance  melalui pinjaman program atau project financing untuk mendukung reformasi fiskal dan pengembangan social safety nets.
 Technical assistance  dalam bentuk advisory services, capacity building, dan policy analysis.
-Knowledge sharing  melalui publikasi penelitian, regional workshops, dan platform pertukaran best practices.
Policy dialogue yang membantu pemerintah merancang strategi fiskal dan sosial yang tepat dengan konteks nasional mereka.

Namun, penting bahwa dukungan internasional ini sensitive terhadap konteks lokal dan tidak menerapkan one-size-fits-all approach. Setiap negara ASEAN memiliki kondisi ekonomi, institusional, dan politik yang unik yang memerlukan solusi yang disesuaikan.

X. Kesimpulan

Rekonsiliasi antara keberlanjutan utang dan perlindungan sosial adalah salah satu tantangan kebijakan paling penting yang dihadapi negara-negara ASEAN di era pasca-pandemi. Fiscal guardrails dan social safety nets bukan tujuan yang saling bertentangan, tetapi dapat dan harus dipandang sebagai komponen komplementer dari strategi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.

Pengalaman dari berbagai negara ASEAN menunjukkan bahwa dengan desain kebijakan yang tepat, manajemen yang efisien, dan komitmen politik yang kuat, adalah mungkin untuk mempertahankan disiplin fiskal sambil mengembangkan sistem perlindungan sosial yang komprehensif. Kuncinya terletak pada:

1. Efisiensi dan targeting yang tepat  dalam program-program sosial untuk memaksimalkan dampak dengan sumber daya yang terbatas.
2. Mobilisasi pendapatan domestik yang progresif untuk menciptakan ruang fiskal berkelanjutan.
3. Prioritisasi pengeluaran produktif  yang mendukung pertumbuhan jangka panjang dan pengembangan modal manusia.
4. Fleksibilitas dalam aturan fiskal  untuk merespons guncangan sambil menjaga komitmen terhadap keberlanjutan jangka panjang.
5. Institutional strengthening dan transparansi dalam manajemen fiskal.

References 

1. Alesina, A., & Perotti, R. (1996). Fiscal discipline and the budget process. American Economic Review, 86(2), 401–407.

2. Asian Development Bank (2024). Asian Development Outlook 2024: Sustainable Fiscal Futures. Manila: ADB.

3. Arellano, M., & Bond, S. (1991). Some tests of specification for panel data: Monte Carlo evidence and an application to employment equations. Review of Economic Studies, 58(2), 277–297.

4. Barro, R. J. (1979). On the determination of the public debt. Journal of Political Economy, 87(5), 940–971.

5. Blanchard, O., & Giavazzi, F. (2004). Improving the SGP through a proper accounting of public investment. European Economic Review, 48(3), 443–458.

6. Brixi, H. P., & Mody, A. (2002). Contingent liabilities in fiscal policy: The impact on debt sustainability. World Bank Policy Research Paper No. 2400.

7. Gupta, S., Clements, B., Baldacci, E., & Mulas-Granados, C. (2005). Fiscal policy, expenditure composition, and growth in low-income countries. Journal of International Money and Finance, 24(3), 441–463.

8. IMF. (2024). Fiscal Monitor: Public Investment and Social Safety Nets in Emerging Markets. Washington, DC: International Monetary Fund.


9. Jha, R., & Acharya, S. (2020). Fiscal policy and inclusive growth in Asia. Oxford University Press.


10. Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest, and Money. London: Macmillan.

11. Kose, M. A., & Ohnsorge, F. (2023). Debt and development: Lessons from emerging Asia. World Bank Policy Paper Series.

12. Krugman, P. (2020). Arguing with zombies: Economics, politics, and the fight for a better future. W. W. Norton.

13. Milanovic, B. (2016). Global inequality: A new approach for the age of globalization. Harvard University Press.

14. Ostry, J. D., Ghosh, A. R., & Espinoza, R. (2015). When should public debt be reduced?. IMF Staff Discussion Note SDN/15/10.

15. Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.

16. Reinhart, C. M., & Rogoff, K. S. (2010). Growth in a time of debt. American Economic Review, 100(2), 573–578.

17. Rodrik, D. (2022). Reshaping globalization to reduce inequality. Journal of Economic Perspectives, 36(3), 17–36.

18. Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.

19. Stiglitz, J. E. (2021). The Road to Freedom: Economics and the Human Future. W. W. Norton.

20. United Nations ESCAP. (2023). Social Protection in Asia and the Pacific: Building Inclusive Fiscal Systems. Bangkok: UNESCAP.

21. World Bank. (2024). World Development Indicators. Washington, DC.

22. Woo, J., & Kumar, M. S. (2015). Public debt and growth. Economica, 82(328), 705–739.

23. Xu, J., & Yan, X. (2021). Fiscal policy, inequality, and inclusive growth in emerging markets. Economic Modelling, 97, 25–41.

24. Yifu Lin, J., & Monga, C. (2017). Beating the odds: Jump-starting developing countries. Princeton University Press.

25. Zhuang, J., & Ali, I. (2010). Inclusive growth toward a prosperous Asia: Policy implications. Asian Development Bank.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kimbab, Mau Ngak Tuh ?

Mau Ngekost, Di Berlian House Aja yuk 🏠

Promo menarik Di Pondokan Berlian House Kost 1 Putri dan Berlian House 2 Putra