Puisi : Mencoba menangkap fenomena "Rojali" (Rombongan Jajan Beli Kagak) dan "Rohana" (Rombongan Hanya Nanya-Nanya)
Di panggung kota yang ranggi menyala,
Berdiri etalase bak panggung surga.
Di sanalah berjalan Rojali dan Rohana,
Dua nama untuk sebuah fenomena.
Rojali, rombongan jajan, tapi beli tidak,
Matanya memindai, hasratnya bergejolak.
Menyentuh kain halus, menimbang harga di benak,
Lalu melangkah pergi dengan helaan sesak.
Disusul Rohana, rombongan hanya bertanya,
"Ini bahannya apa? Ada warna lainnya?"
Setiap detail digali seakan 'tuk belanja,
Padahal hanya menjajal mimpi lewat tanya.
Mereka bukan pemalas, bukan pula penggoda,
Mereka adalah potret nyata di depan mata.
Anak-anak zaman yang lahir dari data,
Dari angka Gini Ratio yang membelah kota.
Sebuah garis tak terlihat menggores peta nasib,
Memisahkan si mampu dan si penyimpan nasib.
Yang satu mengisi tas belanja dengan lahap,
Yang lain mengisi retina dengan harapan redup.
Kesenjangan bukanlah jurang di ujung desa,
Ia adalah kaca mal yang tak bisa ditembus asa.
Di satu sisi, pesta pora konsumsi berjaya,
Di sisi lain, Rojali dan Rohana menelan ludah saja.
Maka jangan cela mereka yang hanya melihat,
Atau menghakimi mereka yang bertanya dengan giat.
Sebab di setiap pandangan dan pertanyaan yang terucap,
Ada jeritan jiwa yang oleh ekonomi terperangkap.
Mereka pulang bukan dengan barang di tangan,
Tapi dengan katalog mimpi untuk angan-angan.
Rojali dan Rohana, barisan panjang bayangan,
Korban senyap dari sebuah ketidakseimbangan. Mangga Dua, 27 Juli 2025
Mencoba menangkap fenomena "Rojali" (Rombongan Jajan Beli Kagak) dan "Rohana" (Rombongan Hanya Nanya-Nanya) sebagai cerminan dari dampak kesenjangan ekonomi dan Gini Ratio yang melebar.
Komentar
Posting Komentar