Kritik Akademik terhadap Philippe Aghion — Penerima Nobel Ekonomi 2025: Paradigma Inovasi, Ketimpangan, dan Tata Dunia Baru

Kritik Akademik terhadap Philippe Aghion — Penerima Nobel Ekonomi 2025: Paradigma Inovasi, Ketimpangan, dan Tata Dunia Baru

Asep Rohmandar
Masyarakat Peneliti Mandiri Indonesia–Nusantara
Email: rasep7029@gmail.com


Abstrak

Philippe Aghion, penerima The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel 2025, dianugerahi penghargaan atas kontribusinya dalam economics of innovation and growth yang menekankan creative destruction dan dinamika pasar dalam inovasi produktif. Namun, dalam konteks global yang semakin tidak simetris—ditandai dengan kesenjangan struktural antara negara maju dan Dunia Keempat—paradigma Aghion memunculkan kritik epistemik. Kritik ini menelaah secara mendalam kelemahan konseptual dan operasional teori Aghion dari sudut pandang Indeks Glokal Multiporos (IGM) (Rohmandar, 2025) dan Model IPOI (Input–Process–Output–Impact). Analisis menemukan bahwa meski Aghion berhasil menjelaskan mekanisme inovasi dalam konteks pasar kompetitif, ia gagal memberikan solusi struktural bagi disparitas global dan ketimpangan intergenerasional. Kritik ini menawarkan arah baru menuju ekonomi glokal yang berkeadilan multiporos dan berkelanjutan.

Kata kunci: Philippe Aghion, Nobel Ekonomi 2025, inovasi, ketimpangan, IPOI, Indeks Glokal Multiporos, Dunia Keempat


1. Pendahuluan

Pemberian Nobel Prize in Economic Sciences 2025 kepada Philippe Aghion menandai tonggak penting dalam pengakuan atas ekonomi inovasi dan pertumbuhan. Karya Aghion, bersama Peter Howitt dan kolega lain, membangun kerangka Schumpeterian growth theory modern yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi bersumber dari inovasi yang menghancurkan struktur lama (creative destruction) untuk menciptakan struktur baru yang lebih efisien (Aghion & Howitt, 1992; 2021).

Namun, dalam konteks dunia kontemporer yang diwarnai oleh asymmetric economy, teori Aghion menghadapi tantangan moral dan struktural. Kesenjangan Gini lintas negara meningkat, konsentrasi kekayaan menguat, dan pertumbuhan tidak selalu berarti kemakmuran bersama (Piketty, 2014; IMF, 2023).

Sebagai respons terhadap persoalan ini, Rohmandar (2025) memperkenalkan Indeks Glokal Multiporos (IGM) sebagai instrumen evaluatif untuk mengukur keadilan dan konektivitas ekonomi lintas negara PBB secara multiporos. Pendekatan ini berpijak pada paradigma glokal humanism, yang memandang bahwa ekonomi tidak hanya berorientasi pada efisiensi dan pertumbuhan, tetapi juga pada inklusivitas dan keberlanjutan moral.


2. Landasan Teoretis Philippe Aghion: Antara Inovasi dan Ketimpangan

Aghion berargumen bahwa inovasi bersifat endogen dan dipicu oleh kompetisi pasar yang mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam riset dan pengembangan (R&D). Dalam modelnya, pertumbuhan ekonomi muncul karena perusahaan lama digantikan oleh yang lebih inovatif (Aghion et al., 2019).

Paradigma ini secara empiris menjelaskan fenomena peningkatan produktivitas di negara maju, tetapi juga mengandung kontradiksi laten. Ketika creative destruction terjadi di negara berkapasitas rendah—terutama di Dunia Keempat—akibatnya bukan inovasi produktif, melainkan dislokasi ekonomi dan pengangguran struktural.

Kritik dari Perspektif IPOI

Model IPOI (Input–Process–Output–Impact) (Rohmandar, 2023) menilai keberhasilan ekonomi tidak hanya dari hasil (output), tetapi juga dari dampak (impact) sosial dan keberlanjutan etis. Aghion menekankan pada input (inovasi) dan output (pertumbuhan), tetapi kurang memberi perhatian pada impact sosial-ekologis yang menjadi inti dari pembangunan berkelanjutan. 

Sebagaimana dijelaskan oleh Rohmandar (2025: 117),

“Pertumbuhan yang tak mengindahkan poros dampak hanya melahirkan kemajuan semu—ia mempercepat jarak antara pusat dan pinggiran, antara inovator dan yang terinovasi.”


3. Asimetri Global dan Kelemahan Paradigma Inovasi Kompetitif

Salah satu kelemahan utama teori Aghion adalah asumsinya bahwa kompetisi dan kebebasan pasar secara otomatis menghasilkan kesejahteraan agregat. Dalam kenyataan, data OECD (2024) menunjukkan bahwa inovasi sering terpusat pada 10% korporasi global, sedangkan 90% negara berkembang hanya menjadi pengguna teknologi tanpa transfer pengetahuan yang seimbang.

Konsep “asymmetric innovation” ini menimbulkan technological dependency, di mana nilai tambah ekonomi global tetap mengalir ke pusat kapitalisme digital seperti AS, Eropa Barat, dan Tiongkok.

Rohmandar (2025) mengajukan kritik struktural bahwa sistem ini menghasilkan “ekonomi tidak multiporos”—yakni sistem yang tidak memungkinkan arus timbal balik pengetahuan dan manfaat antarwilayah. Menurutnya:

“Inovasi global memerlukan poros-poros baru, bukan sekadar memperluas yang lama. Dunia tidak cukup dibagi antara yang mencipta dan yang mengonsumsi; ia harus diatur dalam jaringan multiporos di mana setiap bangsa menjadi penghasil nilai dan makna.”


4. Kritik Epistemologis: Antara Inovasi dan Keadilan Sosial

Aghion mengusung semangat growth through innovation, tetapi gagal menjawab dilema etis antara efisiensi dan keadilan. Creative destruction memang meningkatkan produktivitas, tetapi juga memperdalam jurang sosial.

Seperti diingatkan oleh Sen (1999), pembangunan harus diukur dari perluasan capabilities, bukan semata pertumbuhan output. Dalam konteks ini, ekonomi Aghion lebih menekankan “kompetisi untuk bertahan hidup” ketimbang “kolaborasi untuk berkembang.”

Rohmandar (2025) mengusulkan Indeks Glokal Multiporos sebagai koreksi atas bias epistemik ekonomi global:

“Indeks Glokal Multiporos mengembalikan ekonomi pada poros kemanusiaan, di mana pertumbuhan tak hanya dipacu oleh inovasi, tapi diarahkan oleh moralitas kebersamaan dan solidaritas lintas-batas.”


5. Analisis Komparatif: Aghion vs Indeks Glokal Multiporos

Aspek Teori Aghion Indeks Glokal Multiporos (Rohmandar, 2025)
Paradigma Dasar Pertumbuhan berbasis inovasi kompetitif Keadilan glokal berbasis multiporositas
Struktur Global Asimetris (pusat–pinggiran) Simetris (multi-poros interaktif)
Fokus Efisiensi dan produktivitas Konektivitas dan keberlanjutan
Dampak Sosial Diabaikan / dianggap eksternalitas Diukur secara eksplisit dalam poros dampak
Etika Inovasi Instrumentalis Humanistik-transformatif
Tujuan Akhir Pertumbuhan ekonomi Kesejahteraan glokal dan solidaritas lintas bangsa

6. Diskusi: IPOI sebagai Model Korektif Ekonomi Nobel

Pendekatan IPOI memungkinkan pengukuran kinerja ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara input (inovasi, SDM), proses (institusi, tata kelola), output (produktivitas, pertumbuhan), dan impact (keadilan, lingkungan). Jika teori Aghion diterapkan dalam kerangka IPOI, maka kebijakan inovasi perlu mencakup:

  1. Input adaptif: penguatan inovasi lokal berbasis kearifan dan kemandirian teknologi.
  2. Proses partisipatif: melibatkan masyarakat sipil dan komunitas riset lintas-sektor.
  3. Output inklusif: redistribusi hasil inovasi melalui sistem pajak progresif.
  4. Impact berkeadilan: memastikan inovasi memperkecil, bukan memperlebar, gini ratio.

Dengan demikian, kritik terhadap Aghion bukanlah penolakan atas inovasi, tetapi ajakan menuju inovasi yang berjiwa sosial dan multiporos.


7. Implikasi bagi Dunia Keempat

Dunia Keempat—negara-negara miskin dan terpinggirkan secara teknologi—harus membangun institusi ekonomi alternatif yang tidak hanya meniru Barat, tetapi memadukan pengetahuan lokal dan global.

Rohmandar (2025) menyebut ini sebagai glokal economic sovereignty, yakni kedaulatan ekonomi yang berbasis pada kekuatan inovasi lokal, solidaritas lintas wilayah, dan kebijakan multiporos yang adil.

Dalam konteks ini, penghargaan Nobel 2025 kepada Aghion seharusnya diiringi dengan kritik moral agar dunia tidak kembali memuja pertumbuhan tanpa keadilan. Sebagaimana dikatakan Stiglitz (2019), “Pasar bebas tanpa koreksi sosial hanyalah kebebasan bagi yang kuat.”


8. Kesimpulan

Karya Philippe Aghion merupakan pencapaian penting dalam teori pertumbuhan endogen berbasis inovasi. Namun, ia juga mereproduksi bias struktural kapitalisme global yang mengabaikan ketimpangan dan keadilan sosial.

Melalui Model IPOI dan Indeks Glokal Multiporos, Rohmandar (2025) menunjukkan bahwa teori pertumbuhan harus melampaui kompetisi menuju kolaborasi multiporos, di mana inovasi menjadi sarana untuk kesejahteraan bersama.

Kritik ini menegaskan bahwa penghargaan Nobel 2025 perlu ditafsir ulang bukan sebagai puncak dogma, melainkan titik balik menuju ekonomi dunia yang lebih adil, inklusif, dan berjiwa manusia.


Daftar Pustaka

  • Aghion, P., & Howitt, P. (1992). A Model of Growth through Creative Destruction. Econometrica, 60(2), 323–351.
  • Aghion, P., et al. (2019). The Power of Creative Destruction. Harvard University Press.
  • IMF. (2023). World Economic Outlook: Uneven Recovery and Persistent Inequality. Washington, D.C.
  • OECD. (2024). Global Innovation Index Report. Paris: OECD Publishing.
  • Piketty, T. (2014). Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press.
  • Rohmandar, A. (2023). Model IPOI: Masukan–Proses–Keluaran–Dampak dalam Riset dan Inovasi. Bandung: MPMI–Nusantara.
  • Rohmandar, A. (2025). Desain Indeks Glokal Multiporos untuk Negara Anggota PBB. Bandung: Masyarakat Peneliti Mandiri Indonesia–Nusantara.
  • Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.
  • Stiglitz, J. E. (2019). People, Power, and Profits: Progressive Capitalism for an Age of Discontent. Norton.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kimbab, Mau Ngak Tuh ?

Mau Ngekost, Di Berlian House Aja yuk 🏠

Promo menarik Di Pondokan Berlian House Kost 1 Putri dan Berlian House 2 Putra