Cerpen : Di Bawah Terang Lampu Kios Mang Ujang


Di Bawah Terang Lampu Kios Mang Ujang
Judul: Rezeki Tak Selalu Soal Rupiah
Latar: Kios Buah "Sehat Segar" Mang Ujang di area Griya Yoga, Batununggal, Bandung. Sore hari menjelang Maghrib, lampu-lampu kios sudah menyala terang, menerangi tumpukan buah yang tertata rapi dan berwarna-warni.
Tokoh:
 1. Mang Ujang: Pemilik kios, 50-an, sabar dan bijaksana.
 2. Asep: Karyawan Mang Ujang, 20-an, sedikit tidak sabaran.
 3. Rina (Rohana): Mahasiswi, 21 tahun, kritis dan penuh tanya.
 4. Ibu Santi & Ibu Wati (Rojali): Ibu-ibu kompleks, 40-an, hobi survei harga.
 5. Pak Dirga: Pelanggan tetap, 30-an, praktis dan to-the-point.
 6. Mbak Amira: Wanita karir, 28 tahun, pemerhati yang tak terduga.
(Cerita Dimulai)
Asep: (Mengelap buah alpukat, berbisik pada Mang Ujang)
"Mang, pusing saya lihatnya. Yang satu nanya terus dari tadi nggak beli-beli. Rombongan yang ibu-ibu itu dari ujung ke ujung semua dipegang, ditawar, yang dibeli cuma pisang sesisir."
Mang Ujang: (Tersenyum sambil menata jeruk)
"Sabar, Sep. Namanya juga rezeki, datangnya macam-macam. Nggak semua rezeki itu bentuknya lembaran uang di laci."
(Rina, yang sedari tadi membolak-balik buah naga, mendekat)
Rina: "Mang, ini naganya manis kan? Nggak hambar? Soalnya saya pernah beli di tempat lain, warnanya merah bagus, pas dibuka dalamnya pucat. Terus ini organik atau pakai pestisida, Mang? Ada sertifikatnya nggak?"
Mang Ujang: "Insya Allah manis, Neng Rina. Ini dari kebun di Tasik, petani binaan. Kalau soal pestisida, pasti ada untuk lindungi dari hama, tapi sudah sesuai aturan, Neng. Dicuci bersih sebelum dimakan mah aman. Mau dicoba dulu? Mangga, saya belahkan sedikit ujungnya."
Rina: "Eh, nggak usah, Mang. Nanti aja deh. Kalau anggurnya dari mana, Mang? Ini yang seedless kan? Per kilonya berapa? Kalau saya bandingkan sama di supermarket sebelah, lebih murah mana ya?"
Mang Ujang: "Ini dari Australia, Neng. Tanpa biji. Harga boleh diadu, rasa berani dijamin. Coba saja dulu Neng lihat-lihat lagi, biar sreg di hati."
(Rina kembali berkeliling, memotret beberapa buah dan harganya. Sementara itu, Ibu Santi dan Ibu Wati mendekati tumpukan mangga.)
Ibu Santi: "Mang Ujang, ini mangganya harum manis asli? Kok kulitnya masih ada hijaunya?"
Ibu Wati: "Iya, Mang. Coba dong ditimbang dulu yang ini satu. Berapa ons? Kalau sekilo isi tiga, boleh kurang nggak harganya? Di pasar kaget tadi pagi mah dapet lebih murah, lho."
Mang Ujang: "Aduh, Ibu-ibu, ini kualitas super, Bu. Matang pohon. Kalau harga sudah pas, Bu. Ambil dua kilo saya kasih bonus jeruk dua biji, bagaimana?"
Ibu Santi: (Berbisik pada Ibu Wati)
"Tuh kan, bonusnya cuma jeruk. Udah yuk, kita beli pisang aja buat sarapan besok. Mangganya kita lihat lagi lusa, siapa tahu harganya turun."
(Keduanya akhirnya hanya membayar sesisir pisang uli seharga lima belas ribu rupiah, setelah hampir dua puluh menit 'survei' di kios.)
Asep: (Menghela napas saat kedua ibu itu pergi)
"Tuh, Mang. Rohana sama Rojali kumpul hari ini. Rombongan Hanya Nanya sama Rombongan Jarang Beli. Tenaga kita habis, laci kasir nggak nambah-nambah."
(Tiba-tiba Pak Dirga datang dengan langkah cepat.)
Pak Dirga: "Mang! Alpukat mentega setengah kilo, pir xiangli sekilo, sama jeruk sunkist sekilo ya. Yang bagus semua, Mang. Saya tunggu di mobil."
Mang Ujang: "Siap, Pak Dirga!" (Mang Ujang dengan sigap melayani)
Asep: "Nah, kalau semua pembeli kayak Pak Dirga, kita bisa cepat tutup kios, Mang."
Mang Ujang: (Sambil menyerahkan pesanan pada Pak Dirga dan menerima uang)
"Hussh, jangan begitu. Dunia ini isinya bukan cuma Pak Dirga, Sep."
(Setelah Pak Dirga pergi, Mbak Amira yang dari tadi diam-diam memerhatikan dari sudut kios sambil memilih apel, mendekati Mang Ujang.)
Mbak Amira: "Mang."
Mang Ujang: "Eh, Mbak Amira. Cari apa, Mbak?"
Mbak Amira: "Saya jadi ambil apel fuji ini sekilo. Terus tolong buatkan saya satu parsel buah kecil, Mang. Isinya campur aja."
Mang Ujang: "Oh, boleh, Mbak. Buat siapa kalau boleh tahu? Biar saya pilihkan yang pas."
Mbak Amira: (Tersenyum tipis)
"Tolong kasih ke mahasiswi yang tadi banyak tanya itu, Mang."
(Mang Ujang dan Asep tertegun. Rina yang hendak meninggalkan kios menoleh karena merasa dibicarakan.)
Mbak Amira: (Menghampiri Rina)
"Dek, ini ada sedikit buah buat kamu. Jangan berhenti bertanya ya. Orang yang banyak bertanya itu tandanya peduli dengan apa yang akan masuk ke tubuhnya. Itu bagus."
Rina: (Terkejut dan malu)
"Eh... Mbak? Kenapa? Nggak usah, Mbak. Saya... saya cuma..."
Mbak Amira: "Nggak apa-apa. Anggap saja hadiah karena kamu sudah jadi konsumen yang cerdas." (Mbak Amira menoleh ke Mang Ujang) "Dan buat Mang Ujang, terima kasih sudah sabar menjawab semua pertanyaannya. Kesabaran adalah layanan terbaik."
(Mbak Amira membayar pesanannya, termasuk parsel untuk Rina, lalu tersenyum dan pergi.)
(Rina berdiri mematung memegang parsel buah, matanya berkaca-kaca. Asep garuk-garuk kepala, merasa tertampar.)
Rina: "Mang... maaf ya saya tadi banyak tanya."
Mang Ujang: (Menepuk bahu Rina dengan ramah)
"Nggak apa-apa, Neng. Justru si Mbak tadi benar. Pertanyaan Neng itu rezeki buat Mamang."
Asep: "Rezeki gimana, Mang?"
Mang Ujang: "Itu rezeki ilmu, Sep. Karena Neng Rina bertanya, Mamang jadi harus terus belajar tentang buah yang Mamang jual. Mamang jadi tahu apa yang konsumen sekarang cari. Itu lebih berharga dari sekadar uang. Kalau Ibu-ibu yang tadi, mereka datang membawa rezeki keceriaan, bikin kios kita ramai. Tanpa mereka, tempat ini sepi."
(Mang Ujang menatap Asep dalam-dalam, lalu ke arah jalan raya Batununggal yang mulai padat.)
Mang Ujang: "Ingat, Sep. Kios kita ini bukan cuma tempat transaksi jual beli buah. Ini panggung kecil kehidupan. Ada yang datang cari vitamin, ada yang cari informasi, ada yang cari teman ngobrol, ada juga yang sekadar cari pemandangan segar. Tugas kita melayani semuanya. Rezeki kita itu senyum puas mereka, obrolan mereka, bahkan keluhan mereka. Uang itu... bonusnya saja."
(Asep terdiam, memandangi tumpukan buah di hadapannya dengan cara yang baru. Hiruk pikuk di kios Mang Ujang sore itu terasa lebih dari sekadar transaksi; ia penuh dengan pelajaran tentang kemanusiaan yang tak ternilai harganya.)
(Selesai)
Bandung, 2 Agustus 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kimbab, Mau Ngak Tuh ?

Ancaman Resesi dan Krisis Multidimensi Global, Adalah Nyata di Depan Mata Kita ?

Mau Ngekost, Di Berlian House Aja yuk 🏠